Siapakah Abu Thalib? Sejauh mana peranannya dalam menjaga dan melindungi
Nabi Muhammad? Di bulan Isra' Mi'raj ini layak untuk kita ungkapkan
catatan sejarahnya. Pantaskah kita untuk mengatakan Abu Thalib bukan
sebagai orang Islam lantaran beliau, menurut beberapa riwayat tidak
sempat mengucapkan dua kalimat syahadat? Pantaskah kita mengatakan paman
Nabi itu kafir? Rasanya terlalu tidak beretika dan tidak tahu diri kita
akan besarnya jasa paman Nabi itu.
Abu Thalib adalah paman Nabi yang menjadi 'ayah asuh' Nabi sejak beliau
kecil dan pelindung awal Nabi ketika memulai dakwah Islam. Di dalam
kitab tarikh diceritakan ketika Muhammad kecil bersama pamannya
berdagang ke kota Busrah, di sana keduanya bertemu dengan pendeta
Nasrani. Saat itu umur Muhammad, 12 tahun. Pendeta itu melihat tanda
nubuwah (kenabian) dalam diri Nabi. Pendeta itu khawatir jika itu
diketahui orang Yahudi akan mengganggu keselamatan Nabi Muhammad
kekhawatiran itu karena tanda-tanda kenabian itu tidak diturunkan kepada
orang Yahudi tapi pada orang Quraisy. Abu Thalib mematuhi nasihat
pendeta itu dan segera membawa Muhammad kecil kembali ke kota Makkah.
Catatan sejarah ini membuktikan, sebelum Muhammad kecil diangkat menjadi
Nabi. Pamannya Abu Thalib sudah meyakini tanda-tanda kenabian Muhammad
sebelum orang lain mengenal kenabiannya. Apakah wajar jika seorang tua
yang mengangkat Muhammad kecil sebagai anaknya, kemudian mempercayainya
untuk mendampinginya dalam berbisnis, lalu melindungi tanda-tanda
kenabiannya agar selamat dari serangan orang kafir dan merawat hingga
dewasa, kita meragukan keimanannya kepada kerasulan Nabi? Mungkin ada
yang berpendapat, pamannya melindungi bukan karena tanda-tanda
kenabiannya, tapi karena keponakannya yang memiliki hubungan darah
kepadanya? Jika demikian halanya mengapa Abu Jahal yang juga pamannya
membenci dan hendak membunuhnya? Jadi hemat saya Abu Thalib meyakini
tanda kenabian Muhammad bukan saja karena hubungan darah tapi juga
karena mengimani tanda-tanda kenabian Muhammad yang langsung ia lihat
dengan mata kepalanya sendiri, tanpa ragu sedikit pun.
Ketika orang-orang kafir Quraisy menggunakan berbagai macam cara untuk
menghalangi dakwah Nabi, sampai kepada menawarkan iming-iming berupa
jabatan, harta dan wanita. Jika Nabi menerimanya maka dia mendapatkan
seluruh kemewahan duniawi yang diingini banyak orang, tapi karena
tujuannya bukanlah ketiga hal tersebut maka ia menolaknya. Maka
kemarahan orang kafir Quraisy dipimpin Abu Sofyan pun memuncak. Mereka
lalu bermusyawarah dan bersepakat akan membunuh Nabi Muhammad, mereka
menunjuk agar masing-masing kabilah (suku) mengutus utusannya dan
dipilih orang yang paling kuat, paling gagah dan paling berani untuk
membunuh Nabi. Akan tetapi sebelum mereka menyerang Nabi, mereka
bersepakat mengirim utusan terakhir untuk disampaikan kepada Abu Thalib
paman Nabi. Mereka pun pergi dan menghadap kepada paman Nabi dan
menyampaikan keinginan mereka yang tegas bahwa jika Abu Thalib tidak
bisa menghentikan keponakannya menyampaikan agama barunya itu, maka kami
akan membunuhnya.
Berita itu membuat pamannya cemas, akhirnya ia memanggil keponakannya
Muhammad dan berkata, Wahai Muhammad, orang-orang itu datang dan meminta
kepadaku agar menyampaikan kepada engkau agar menghentikan agama barumu
itu karena aku khawatir akan keselamatanmu. Nabi Muhammad menjawab,
Wahai pamanku andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
rembulan di tangan kiriku, aku tidak akan mundur selangkah pun meskipun
aku hancur karenanya.' Ucapan Nabi yang demikian teguhnya membuat
pamannya terharu, simpatik dan semakin yakin dengan kebenaran agama baru
itu. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu menemui paman Nabi untuk yang
kesekian kalinya Abu Thalib berkata kepada mereka, Kalian tidak dapat
menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku. Dari catatan sejarah
itu, awalnya Abu Thalib kelihatan berada pada posisi di tengah atau
netral, namun setelah melihat sikap Nabi yang demikian meyakinkan
dirinya membuat itu menjatuhkan pilihan untuk membela Nabi sampai titik
darah penghabisan.
Peran Abu Thalib tidak hanya sampai dalam melindungi fisik Nabi, tapi
memikirkan masa depan rumah tangga Nabi. Abu Thalib yang melakukan
pendekatan dan meyakinkan agar Muhammad keponakannya menerima lamaran
Khadijah, meskipun awalnya Nabi kelihatan ragu untuk menerima pinangan
Khadijah, tapi karena peran Abu Thalib dalam meyakinkan Nabi bahwa
Khadijah adalah seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan memiliki
kedudukan terhormat, maka Nabi menerima Khadijah sebagai istri.
Berhasilnya peran Abu Thalib menghubungkan keduanya menjadi suami istri,
membuat Nabi tidak saja disegani, tapi dihormati karena kedudukan Nabi
yang berstatus sebagai orang yang berkecukupan secara finansial dan
memiliki kedudukan yang terhormat karena menjadi suami dari seorang
wanita yang kaya raya lagi disegani masyarakatnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan Abu Thaliblah yang memiliki jasa paling
besar dalam mendidik Nabi dan memikirkan masa depannya. Sehingga Abu
Thalib bukan saja sebagai sosok seorang paman, tapi juga sudah menjadi
seperti seorang ayah bagi Nabi. Ketika pamannya meninggal, Nabi sangat
terpukul dan bersedih, air mata beliau basah mengaliri pipinya, sambil
mengusap kening pamannya, Nabi mendoakan agar pamannya diberikan imbalan
yang sebaik-baiknya dari Allah karena jasanya yang demikian besar.
Meninggalnya paman Beliau, sebulan kemudian istri Nabi Khadijah,
meninggal dunia juga. Sehingga tahun itu menjadi tahun yang sangat penuh
duka cita mendalam. Berbulan-bulan Nabi merasakan kepedihan hati.
Sehingga tahun ini disebut dalam sejarah sebagai tahun duka cita ('amul huzni)
Abu Thalib Bukan Kafir
Apakah Abu Thalib seorang mukmin? Jawaban yang pantas kita ucapkan wallahualam bishawab.
Inilah jawaban yang tepat, sehingga tidak pantas kita mengatakan bahwa
Abu Thalib bukan seorang mukmin hanya karena kita bersandar pada
riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa paman Nabi tidak sempat
mengucapkan dua kalimat syahadat secara lisan, sebab boleh jadi hatinya
sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidaklah pantas kita
menyebut-nyebut paman Nabi bukan golongan mukmin, karena perbuatan dan
pembelaan Abu Thalib sendiri sudah melebihi seorang mukmin. Memang ada
ayat yang turun mengatakan Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak
dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai dan akan tetapi
Allah yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Ayat ini di dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa asbabun nuzulnya
sebagai berita kepada Nabi Muhammad bahwa yang dapat memberi hidayah
kepada pamannya adalah Allah. Tapi hemat saya kita tidak bisa
memutlakkan bahwa ayat itu dipahami, Abu Thalib tidak mendapat hidayah,
karena secara eksplisit ayat itu tidak mengatakan bahwa Abu Thalib tidak
mendapat hidayah. Lantas apa yang pantas untuk kita simpulkan adalah
sebagaimana ungkapan seorang ulama yang bernama Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, seorang ulama terkemuka di Makkah mengatakan Ékami sependapat
dengan ulama yang memfatwakan bahwa mengkafirkan Abu Thalib adalah
perbuatan atau pernyataan yang menyinggung dan menyakiti hati Rasulullah
Saw. Karena andil kita dibandingkan dengan Abu Thalib barang kali belum
seperseratusnya.
Akhirnya jika kita lihat ucapan-ucapan Abu Thalib dan perbuatannya serta
perjuangannya pantaslah beliau disebut sebagai penolong Nabi Muhammad,
orang yang menolong Nabi Muhammad pantas mendapat imbalan berupa
kemuliaan dan derajat yang tinggi. Betapa tidak, orang yang mengucapkan
shalawat kepada Nabi saja mendapatkan syafaat dan pertolongan dari Allah
melalui permohonan Nabi kepada Allah Apalagi seorang Abu Thalib yang
demikian sangat berjasa dalam menegakkan Islam di kota Makkah. Wallahu'alam bishawab.
Kisah Nabi Muhammad SAW bagi saya bukanlah hanya sebuah dongeng semata. Saya merasakan dan mengalami kisah tersebut. Orang yang saya sayangi, Keluarga yang sayangi, Orang tua yang sayangi. Yahh.. Orang tua saya. Orang yang sangat mendukung saya, memberi motivasi saya dan orang yang melahirkan saya berbeda agama dengan saya. Mereka dari kecil memberi saya kebebasan untuk memilih agama. Karena saya suka ikut kakak saya mengaji di surau, orang tua saya akhirnya saya didaftarkan ke pesantren tempat kakak saya menimba ilmu agama. Saya sudah belajar mengaji sejak TK. Ketika kecil saya tidak mempermasalahkan perbedaan yang terjadi antara saya dan orang tua saya. karena saya belum memahami makna perbedaan tersebut. Tak jarang pula orang tua saya mengajak saya beribadah dengan cara agama mereka. Masih hangat memori dalam ingatan saya, ketika saya kelas 4 SD saya diajak sembahyang dengan agama mereka. Dan saat itulah saya mulai menolak dan menentang orang tua saya untuk ikut beribadah dengan agama mereka. Dan saat itulah saya memahami perbedaan antara kami. Yah.. kami berbeda.
Alhamdulillah orang tua saya mendukung saya untuk belajar memahami Islam secara kaffah. Orang tua saya senantiasa mengingatkan saya untuk sholat, mengaji, puasa, dll. Bahkan tak jarang memarahi saya jika saya tak melaksanakan kewajiban - kewajiban sebagai seorang muslim. Alhamdulillah orang tua saya tak pernah melarang atau pun menolak setiap keputusan - keputusan yang saya ambil mengenai keyakinan (agama) yang saya pilih. Semakin dewasa saya semakin sadar bahwa saya juga berkewajiban untuk menuntun orang tua saya kembali ke jalan yang benar. Ajaran agama Islam.
"Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada
orang yang engkau cintai dan akan tetapi Allah yang memberi hidayah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya."